"engkau adalah puisi yang tertulis di hati" (Veho)

Custom Search

21 Desember 2008

Aktor & Akting


“percayalah pada apa yang kamu rasa”

Red:
Kali ini saya mengunggah sebuah tulisan mengenai latihan teater, karena dorongan yang sederhana. Suatu siang, beberapa hari lalu, sekitar 5-6 anak remaja datang ke markas kami di Megawon, bertanya mengenai latihan teater. Waktu itu saya berpikir, mungkin masih ada remaja lain yang juga ingin mengenal teater lebih dekat, sehingga alangkah baiknya tulisan yang pernah saya pergunakan sebagai materi workshop ini saya unggah di sini. Mudah-mudahan ada gunanya, terutama bagi rekan-rekan remaja yang ingin tahu lebih dalam dunia teater.



Olah Vokal
Olah Vokal dalam berteater menempati posisi penting. Pengolahan vokal ini lebih dimaksudkan agar aktor dapat menajamkan karakter perannya melalui karakter suara dan dialog yang harus diucapkannya.

Karakter Suara
Sebagaimana setiap manusia yang telah memiliki bekal karakter suara yang berbeda, demikian pula dalam kita berolah seni peran. Dalam berteater lebih dikhususkan lagi, bahwa karakter suara memiliki maksud untuk memperjelas karakter fisik, sifat, kepribadian, watak dari sebuah peran. Karakter suara untuk peran seorang lelaki muda akan berbeda dengan karakter suara untuk peran seorang lelaki tua. Karakter suara untuk orang baik, orang jahat, dan sebagainya menurut wataknya juga bisa berbeda-beda.

Karakter suara orang angkuh, rendahhati, cerdas, idiot, sakit jiwa, dan sebagainya. Hendaknya hanya satu karakter suara mewakili satu karakter peran.

Karakter Dialog
Apabila karakter suara lebih berorientasi kepada warna suara yang menentukan watak peran, karakter dialog lebih kepada ciri khas atau style dialog sebuah watak. Ini sering terlihat pada karakter-karakter lucu, yakni dengan mengulang-ulang dialog yang sama. Harus diingat bahwa untuk membangun watak tidak selalu mempergunakan karakter dialog, watak bisa dibangun melalui perangkat keaktoran yang lain, misalnya gesture (tubuh).

Pengucapan Dialog
a). Artikulasi (kejelasan/ketepatan pengucapan)
b). Intonasi (nada pengucapan)
c). Tempo (cepat lambatnya pengucapan)
d). Volume (keras lemahnya suara)
e). Emosi (maksud pengucapan)
f). Interpretasi (pemahaman kalimat)

Sesungguhnya, kemampuan olah vokal dalam seni peran termasuk juga menyanyi. Banyak teater-teater pada Jaman Klasik hingga awal Renaisance yang mengangkat opera dalam pertunjukannya. Yakni dialog diutarakan dengan menyanyi. Di Indonesia, banyak dikembangkan oleh Teater Koma (Nano Riantiarno).

Olah Tubuh
Seni peran adalah seni melibatkan seluruh jiwa raga ke dalam sebuah peran yang diaminkan. Tidak hanya persoalan bagaimana watak, sifat, kejiwaan peran saja yang kita dekati dan masuki, tetapi juga persoalan bagaimana karakter fisik/tubuh si peran tersebut.

Olah tubuh dalam berteater sangat berbeda dengan olah seni tari. Tetapi seni tari dapat menjadi sarana untuk pengolah tubuh yang baik. Jika dalam tari, seluruh dialog dan emosi ditumpahkan melalui gerakan, sementara aktor bisa melebihi. Aktor bisa berdialog dengan kata-kata, gerakan, atau bahasa tubuh, juga melalui suara/musik yang dia mainkan. Oleh karena itu, penguasaan olah tubuh dalam berteater bukan semata-mata harus indah, tetapi juga memiliki efektivitas, motivasi yang jelas, serta mampu mempertajam karakter/watak peran yang dibangunnya.

Olah tubuh dalam seni peran/teater lebih berorientasi kepada kelenturan, kelincahan dan ketahanan fisik seorang aktor. Tubuh (gesture) aktor harus dibiasakan untuk diolah agar lentur, lincah dan punya ketahanan lebih. Di beberapa teater di Indonesia, olah tubuh menjadi sangat penting dan menjadi nilai lebih. Lihatlah misalnya pertunjukan Teater SAE (Boedi S. Otong), Bengkel Teater Rendra (terutama saat bermain teater Mini Kata), Teater Mandiri (Putu Wijaya).

Lepas dari itu semua, gerakan tubuh dan pengucapan dialog dalam
panggung teater harus lebih besar. Ini tentu sangat lain dengan gerakan tubuh dan gaya pengucapan dialog dalam sinetron atau film. Hal ini sangat dituntut, karena adanya jarak antara aktor dengan penonton. Pengucapan dialog dalam panggung harus ditata sedemikian rupa sehingga setiap dialog (bahkan setiap huruf dan kata) mampu didengar oleh penonton.


Emosi
Pemeranan atau acting, berasal dari kata benda act (bahasa Inggris) yang berarti berbuat, bertindak, atau berlaku sebagai karakter tokoh yang diperankan. Pemeran pria dalam sandiwara disebut, aktor, dan aktris untuk pemeran wanita. Keberhasilan seorang pemeran sangat ikut menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan sandiwara, yang menyatu dengan dunia kecil yang melingkunginya. Bagaimanakah seseorang bisa mencapai sebuah tingkat pemeranan yang matang?

Tidak semudah kita mengajukan pertanyaan di atas, untuk mencapai
tingkat pemeranan yang matang sangat membutuhkan waktu dan proses
berlatih yang tiada henti. Pengetahuan akan ilmu pemeranan yang matang tidak menjamin seseorang bisa berolah seni peran dengan matang pula. Bahkan seorang sutradara yang baik pun belum tentu bisa ber-akting baik. Demikian juga sebaliknya.

Ada beberapa tahap mendasar dalam ilmu seni peran yang harus
dilewati oleh calon-calon aktor, antara lain:

1. Penguasaan Kemampuan Dasar seorang aktor :
Kemampuan olah vokal (artikulasi, intonasi, tempo),
Kemampuan olah tubuh (lincah, lentur, ketahanan),
Kemampuan olah rasa (emosional, kepekaan terhadap berbagai situasi).

2. Pemahaman 3 Kesadaran seorang aktor :
Kesadaran Diri (setia pada karakter peran, pengendalian diri),
Kesadaran Ruang (setting, pencahayaan dan bloking),
Kesadaran Waktu (setting waktu).

Secara beriringan, proses yang dilewati harus diikuti dengan proses
mencerna sebuah peran yang dapat dilakukan dengan banyak cara. Antara lain, melalui tahap penyempurnaan pada; Konsentrasi, Pengetahuan, Pengalaman, Pencarian (eksplorasi), Jelajah Peran (Observasi), Jam Terbang (Latih pentas), yang kesemuanya bisa ditempuh dengan gaya Stanislavsky, Grotowsky, hingga Rendra, Putu Wijaya, Ariffin C. Noer, Teguh Karya, Boedi S. Otong atau menemukan gaya sendiri berdayarkan warna/atau gaya teater masing-masing.


Hal-hal yang harus diingat oleh aktor dalam berakting, antara lain:

1.Kewajaran. Setiap puncak acting/berperan adalah tercapainya tingkat kewajaran yang sewajar-wajarnya. Kewajaran peran seorang tukang becak dalam naskah realis, akan lain dengan kewajaran seorang Hulk (Raksasa Hijau) misalnya. Kewajaran peran sebagai Dokter, akan beda dengan kewajaran seorang Petani. Kewajaran sosok Kuntilanak, akan beda dengan kewajaran Tuyul. Dan sebagainya, dan sebagainya.
2.Bermain, tetapi bukan bermain-main.
3.Pertunjukan sandiwara tetaplah merupakan sebuah karya seni. Oleh karena itu, keberhasilan sebuah peran juga ditunjang dari kecerdasan aktor ‘memanipulasi’. Harus disadari bahwa apa yang terjadi di atas panggung adalah benar-benar rekayasa, manipulatif dan seolah-seolah, akan tetapi aktor harus memperlihatkannya (meyakinkan) kepada audiens bahwa apapun yang terjadi di atas panggung adalah kebenaran, nyata (tidak seolah-olah), tidak ada yang keliru.
4.Aktor harus selalu berupaya menjadi, tidak sekedar sebagai atau seperti karakter yang diperankan. Apabila seorang aktor telah memiliki kemampuan teknis, ia hanyalah menjadi seorang aktor yang kering. Seorang aktor harus menyerahkan keseluruhan dirinya (berikut hati/jiwa) untuk sebuah karakter peran yang dimainkan. Dengan begitu, totalitas sebuah peran dapat tercapai. Aktor harus melupakan dirinya, untuk dapat menjadikan dirinya karakter peran yang dimainkan. Di sini, pengendalian diri dan konsentrasi memainkan peranan sangat penting, untuk tidak terjebak menjadi aktor mabok.

Mungkinkah setiap orang bisa berperan/berakting? Jawabannya jelas:
BISA. Secara gamblang bisa dijelaskan bahwa garis tegas yang harus dibangun oleh pemeranan adalah emosi. Sementara manusia yang akan menjadi aktor sendiri, juga telah dikaruniai bekal beremosi pula oleh Tuhan. Sehingga sangat mungkin setiap orang bisa menjadikan dirinya aktor, karena dia tinggal mendudah bekalnya (emosi) ke dalam sebuah karakter lain. Sementara perangkat-perangkat lain, sebagaimana telah ditulis di atas, dan selanjutnya adalah perangkat pelengkap semata.

Oleh karena itu, sesungguhnya berolah seni peran adalah proses mempelajari kemanusiaan dan kejiwaan diri kita sendiri. Jangan percaya apa yang kamu lihat, percayalah pada apa yang kamu rasa! Di situ kunci kebenaran seorang aktor berada.

Selamat berlatih!

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Salam kreatif,
rekan. tulisannya menarik dan bermamfaat, teruslah menulis semoga menjadi ilmu.

-Sulaiman Juned

 
© design by asajatmiko